REDAKSI SUARA RAKYAT BEKASI.JL. MAYOR HASIBUAN NO.14 BEKASI,JAWABARAT,INDONESIA.
email.suararakyatbekasi@gmail.comHOTLINE.HP.087878753510 - Biro Bekasi : JUHADI 02196607362 , HERU ASWAN 081997143007




pemdakota bekasi logo


Total Tayangan Halaman

Kamis, 21 Juli 2011

Jaksa Agung Diminta Selidiki Alasan Dibalik Pengajuan Kasasi Kasus Prita


Suara Rakyat Bekasi - Jakarta, Beragam pertanyaan dan kritikan tajam disampaikan kepada Jaksa Agung Basrief Arief terkait latar belakang keputusan untuk mengajukan kasasi terhadap kasus Prita Mulyasari. Beberapa anggota Komisi III menilai langkah Kejaksaan tersebut tidak berdasarkan landasan yuridis yang tepat sehingga patut diduga ada kepentingan dibalik putusan jaksa tersebut.

“Pengajuan kasasi Jaksa landasan yuridisnya tidak kuat ini menunjukkan lemahnya pemahaman kejaksaan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Jelas KUHAP menyebut terang benderang, perkara bebas tidak dikualifikasi bebas murni atau tidak. Jadi menurut saya Jaksa Agung perlu menyelidiki kenapa Jaksa begitu ngotot.  Saya dapat informasi Omni bekerjasama dengan Kejaksaan, apa keterkaitan itu yang  menjerat Ibu Prita,” tanya anggota Komisi III dari FP3 Ahmad Yani dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung di Gedung DPR RI, Senin (18/7/2011).

Sementara itu Nudirman Munir anggota Komisi III dari FPG mengingatkan keputusan mengajukan kasasi terhadap kasus Prita jelas berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada tahun 1983. Bagaimana mungkin menurutnya dua surat tersebut bisa mengalahkan aturan yang telah ditetapkan undang-undang. Sedangkan alasan Yurespredensi jelas tidak dapat digunakan.

“Pak semua tahu, kita masuk Fakultas Hukum sudah dijelaskan Yuresprudensi itu digunakan kalau tidak ada aturan hukumnya, kalau ada bukan Yuresprudensi namanya tapi malanggar hukum, melanggar undang-undang namanya,” pungkasnya. Nudirman mengingatkan kondisi ini seperti melihat aparat melakukan penegakan hukum dengan cara melanggar hukum. Baginya ini sudah merupakan peringatan pentingnya melakukan revisi KUHAP, memberikan sanksi terhadap aparat yang melakukan penegakan hukum dengan cara melanggar hukum.

Kekecewaan juga disampaikan oleh anggota Komisi III dari FPKS Aboe Bakar Alhabsy. “Saya tidak habis pikir sikap Kejaksaan Agung soal Prita. Permasalahannya adalah dia bukan koruptor Pak, dia cuma berkeluh kesah tentang pelayanan publik yang gak enak, masa kayak gitu dikriminalisasi. Mau apa ni maksudnya, Kejaksaan Agung?” Ia juga menyatakan mendukung upaya hukum yang dilakukan Prita untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan tersebut.
Pada bagian lain anggota Komisi III dari Fraksi Hanura, Syarifudin Sudding meminta dilakukan revisi terhadap SOP yang selama ini berlaku di Kejaksaan. Ia menilai ada indikasi apabila Jaksa tidak melakukan kasasi atau upaya hukum terhadap suatu vonis maka Jaksa yang bersangkutan akan dieksaminasi. “Menurut saya SOP ini perlu direvisi,” tandasnya.

Menjawab hal ini Jaksa Agung Basrief Arief menjelaskan instruksi pertamanya pada saat dilantik adalah dalam penegakan hukum para Jaksa harus berorientasi pada keadilan, kepastian hukum dan kemamfaatan yang mengedepankan hati nurani. Baginya ini merupakan tantangan tersendiri karena sampai saat ini soal nurani tidak ada sekolahnya. “Tapi kita terus mencoba memotivasi Jaksa agar jangan menyamaratakan kasus-kasus yang ditangani,” imbuhnya.

Ia menambahkan kasus kasasi Prita akan menjadi perhatian Kejaksaan. “Saya, kedepan ingin menyampaikan InsyaAllah dengan instruksi saya, Jaksa tidak perlu gebyah uyah perkara yang ditangani. Kalau menyangkut rakyat kecil, tidak menyentuh kondisi yang berakibat pada perekonomisan dan sebagainya mungkin kita perhatikan seperti itu. Tidak perlu kasasi,” tandasnya.
Kasus Prita Mulyasari berawal dari dari tulisannya tentang pelayanan medis RS Omni, Tangerang, yang dikirimkannya ke teman-temannya yang lantas beredar di milis-milis. Manajemen Omni merasa keberatan dan membawa kasus ini ke pengadilan dengan dakwaan pencemaran nama baik. Prita dinyatakan bebas di tingkat kasasi pengadilan tinggi. Prita dibebaskan dari kewajibannya membayar denda sebesar Rp 204 juta. Tidak puas dengan putusan itu, Kejaksaan Negeri Tangerang akhirnya mengajukan kasasi.

Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permohonan kasasi terhadap Prita. Ibu tiga orang anak ini akhirnya dijerat dengan Undang-undang ITE dan terbukti melakukan pencemaran nama baik lantaran telah menyebarkan keluhan layanan Rumah Sakit Omni melalui surat elektronik. Dengan putusan tersebut, Prita terancam kembali mendekam dalam bui selama 6 bulan.